Membeli Ruang dan Waktu untuk Menemani Sebuah Buku



Membeli ruang dan waktu untuk menemani sebuah buku*

Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. (Nyai Ontosoroh pada Minke, dalam Anak Semua Bangsa)
ㅤㅤ
Maka kami selalu senang dan kagum pada mereka yang menulis -dengan tulisan yang baik-, suaranya abadi, tak padam di masanya, namun sampai ke masa generasi demi generasi setelahnya. Apa yang dituliskan mereka, memiliki kesan, pengaruh yang terasa hingga beberapa, puluh, ratus, atau ribu tahun setelahnya, entah hal baik atau hal yang tak baik.

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian," ujar Pramoedya Ananta Toer. Maka sejalan dengan yang ia katakan, Pram tak hanya pandai dalam menulis karyanya, namun namanya tidak hilang dari masyarakat dan dari sejarah. Begitu pula yang lain semisalnya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), pun abadi dalam berbagai-bagai karyanya, dalam tulisan, atau perbuatan. Pada kerja mereka untuk keabadian, kita dapati berlembar-lembar pengetahuan, berjuta hikmah nan pengajaran. Pada kerja mereka untuk keabadian, kita dapati ilmu pengetahuan, sains, sejarah, asal-muasal peradaban manusia, linimasanya, garis waktunya, tersusun, untuk memberikan pengajaran bagi kita dan bekal untuk masa depan.

Namun rupanya, menulis tak hanya mengabadikan si pengarang, namun mengabadikan orang lainnya. Layaknya Pram yang "menghidupkan kembali" Raden Mas Tirto Adhi Soerjo (TAS), seorang perintis pers nasional, dalam wujud Minke di Tetralogi Buru-nya, menyusul pula dalam Sang Pemula. Meski tak semua yang ditulis dalam Tetralogi-nya adalah fakta -termasuk Annelies, wanita jelita yang merupakan istri Minke-, namun setidaknya ia berhasil mengingatkan akan seorang tokoh pendiri Medan Prijaji, surat kabar pertama milik pribumi. Tapi rupanya, ia, Tirto Adhi Soerjo, punya kontribusi lain, ia-lah yang atas permintaan Hadji Samanhoedi membikin Anggaran Dasar Sarikat Dagang Islam (SDI), yang cikal bakalnya dari Rekso Roemekso, yang kemudian berubah lagi menjadi Sarikat Islam (SI) dengan Anggaran Dasar yang dibikin Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. 

Ah nampaknya kami mesti berterima kasih pada mereka yang menulis, namanya abadi, mengabadikan yang lain, pun karyanya. Memberikan sebuah fantasi hebat dan berbagai-bagai pengetahuan serta ilmu, yang ada dalam bertumpuk buku.
ㅤㅤ
Kalimat-kalimat itu hidup selamanya... Abadilah cinderajiwa! (Salim A. Fillah)





*pada siang hari, di kafe kopi kecil Dipatiukur, Bandung.
ditulis mulanya di Instagram diberi sedikit tambahan sana-sini khusus di laman ini.

No comments: